a
Ini mungkin ironis tapi kenyataan. Ada seorang perempuan mengaku bahagia menjadi istri simpanan. Kenapa tidak? “Banyak keuntungannya” katanya di bawah ini. Perempuan ini menggunakan pendekatan rasional dalam perkawinan. Memang sih, kalau sudah menggunakan perasaan, selalu jadi repot, ribed dan ruwet. Perempuan ini toh bisa lebih menonjolkan rasionya ketimbang rasanya, sesuatu yang jarang terjadi pada kebanyakan perempuan. Hidup memang pilihan. Kalau resiko dari pilihan itu diterima dengan lapang dada dan konsisten, ya jadi tidak ada persoalan, seperti dialami perempuann ini. Memuat tulisan ini disini hanya untuk satu alasan tegas: menjadi istri simpanan adalah sah dan jauh lebih baik daripada berzinah atau menjadi pelacur. Sekarang ini wanita dewasa (di atas umur 25 tahun) yang belum menikah berlipat-lipat jumlahnya daripada laki-laki bujangan, banyak yang cantik-cantik lagi. Gimana tuh mengatasinya?Secara rasional, pemecahannya ya menjadi istri kedua, ketiga, keempat atau istri simpanan sebagai alternatif mengatasi stress diri karena tidak menikah dan untuk menghindari perzinahan dan pelacuran yang mewabah. Memilih tidak menikah, selain tidak akan diakui sebagai umat Nabi adalah kebodohan yang amat sangat. Minimal ia memubadzirkan diri tidak merasakan “surga dunia” yang disediakan Tuhan. Padahal hidup cuma sekali. Atau melacur saja atau hidup bebas daripada tertindas oleh oleh laki-laki dan “terhina sebagai perempuan,” silahkan. Tinggal tunggu saja akibatnya, di dunia ini apalagi di akhirat, dimana penyesalan disana tidak berguna sedikitpun. Jawaban rasionalnya hanya itu tadi karena menyangkut hitungan-hitungan. Bila setiap laki-laki di Indonesia harus beristri satu, akan ada jutaan perempuan tidak bisa menikah. Kondisi ini persis sama dengan di Amerika Serikat. Perempuan hebat kan ingin segalanya rasional. Masih melibatkan perasaan? Ah, kuno, tidak modern, ketinggalan: ruwet, rudet dan ribed. -Moef.
a
Urusan cinta, aku bukan termasuk orang yang beruntung. Meski sudah memasuki masa pacran yang panjang, kehidupan pernikahanku tak berhasil. Terbukti aku gagal mempertahankan rumah tanggaku dengan Dany. Pernikahanku hanya berjalan 2 tahun saja. Sampai sekarang pun aku tak pernah tahu masalah krusial yang menyebabkan perceraikan tersebut.
Selang kesendirianku, aku mengadopsi seorang anak. Tiara namanya, sekarang sudah menginjak usia 10 tahun. Dengan status janda anak satu, kehidupanku memang jauh dari membahagiakan. Aku harus jatuh bangun menata kehidupanku, termasuk memenuhi kebutuhan Tiara. Namun semua merupakan masa lalu dan itu adalah pembelajaran berharga buatku.
Tanpa diduga, berawal dari sebuah perkenalan tak sengaja dengan Aryo, lelaki simpatik yang sempat membuatku tergoda. Aku tahu sejak awal kalau ia sudah memiliki keluarga, istri dan sepasang putra putri. Tapi pesonanya seakan melekat erat di benak dan hatiku.
Namun tawaran menikah darinya tak pernah kuanggap serius, lagi pula saat itu aku tengah menjalin hubungan dengan Bimo. Hanya saja Bimo tak pernah menunjukan tanda-tanda akan mengajakku menikah. Penantian yang tak berujung.
Tawaran menikah itu malah datang dari lelaki simpatik yang aku tak pernah berniat menikah dengannya. Tapi entah mengapa, justru itulah yang terjadi. Aku menikah dengan Aryo, tanpa persiapan apapun, bahkan mentalkupun belum lagi bisa menerimanya.
Awalnya, sebelum kami menikah, Aryo termasuk lelaki yang royal dalam hal materi. Saat aku tengah terpuruk, ia membanjiriku dengan perhatian termasuk materi yang berlebih. Aku sempat terpana ketika menerima uang darinya. Bayangkan baru beberapa kali bertemu, ia sudah memberikanku uang satu juta rupiah dengan alasan untuk kebutuhan Tiara. Aku sampai tak berani menggunakannya.
Berikutnya, tiap menerima uang di luar gajinya, itu sudah langsung mengalir ke dompetku. Ini adalah secuil alasan aku mau menerima tawaran menikahnya. Selebihnya, karena aku sudah dihadapkan pada penghulu oleh ayahnya agar segera menerima pinangannya.
Saat akad nikah sedang berlangsung, Bimo menelponku. Ia ingin datang ke rumahku. Setengah mati aku berusaha meyakinkannya agar tak datang ke rumah. Sempat terpikirkan untuk kabur dari akad nikah ini dan memaksa Bimo menikahiku. Tapi itu tak terlaksana, malah prosesi akad nikah itu berjalan lancar.
Sebulan setelah menikah, sifat royal Aryo hilang, lenyap entah kemana. Ketika sempat kutanyakan, ia menjawab, karena sekarang sudah menjadi istrinya, maka kewajibanku mengatur uang yang aku terima darinya. Jadi aku tak boleh berharap lebih banyak. Mungkin menghayalpun tidak.
Bukan tanpa masalah, karena pada akhirnya aku terbentur pada kepentingan Tiara. Makin hari kebutuhannya makin bertambah besar. Sebagai istri tak resmi, aku tahu diri. Aku tak bisa bebas meminta apa yang menjadi hakku, meski itu adalah kewajiban suami.
Akhirnya aku minta ijin agar diperbolehkan bekerja kembali. Dulu sebelum menikah dengan Aryo, aku memang bekerja. Karena Aryo menjamin bahwa perekonomianku bakal aman tanpa harus bekerja, dengan berat hati aku berhenti dari posisi manager di sebuah perusahaan swasta.
Namun itu hanya janji, terbukti perekonomianku malah makin terpuruk. Aryo tak sepenuhnya menepati janjinya. Ijin untuk bekerja memang berhasil kudapat, tapi tetap masih dalam pantauannya. Aku tak boleh pulang lewat waktu, ia selalu menelpon untuk mengetahui keberadaanku. Agak merepotkan, tapi aku tetap bertahan dengan status istri simpanannya.
Sekarang, tak terasa pernikahanku dengan Aryo sudah berjalan lima tahun. Sebuah proses yang tak pendek, setelah melewati masa-masa paling sulit. Boleh dibilang aku tak pernah menemui kendala meski posisiku hanya sebatas istri simpanan. Posisi yang menurutku malah sangat menguntungkanku.
Bayangkan, aku tak perlu setiap hari ‘melayani’ suami. Dalam seminggu paling hanya dua hari Aryo menginap di rumah yang aku kontrak. Aku punya banyak waktu untuk memikirkan hidupku sendiri termasuk Tiara. Sabtu dan Minggu, saat di rumah, aku tak perlu repot melayani Aryo. Saat weekend itu, ia tak bisa diganggu gugat, karena tengah bersama keluarganya sendiri.
Hal ini juga menguntungkanku, dua hari penuh di akhir minggu, aku bisa menghabiskan waktu bersama Tiara. Meski sebagai istri simpanan yang nota bene posisiku hanya kesekian di mata Aryo, aku tak pernah menyesalinya.
Beberapa teman pernah mempertanyakan keputusanku ini, dengan santai aku menjawab bahwa jadi istri simpanan juga menyenangkan kok, gak repot setiap waktu melayani suami. Berikut fakta-fakta lain yang jelas aku jalani selama lima tahun kehidupanku bersama Aryo.
Reaksinya, mereka pada bengong, namun setidaknya beberapa teman yang berstatus sama denganku berpikiran positif soal status mereka. Mereka yang sebelumnya sangat menyesali keputusan menjadi istri simpanan, malah berbalik mensyukurinya.
Setidaknya apapun keputusan yang diambil, aku selalu yakin bahwa itulah yang terbaik dan aku sama sekali tak pernah menyesalinya. Aku berharap siapapun yang membaca ini bisa mengambil hikmah dari apa yang sudah aku jalani. Meski aku tak pernah merasa bahwa ini adalah satu-satunya jalan hidup, karena setiap orang memiliki pilihan hidup masing-masing. Tapi…jujur…aku bahagia sekarang. (perempuan.com)
0 komentar:
Posting Komentar