Gus Dur yang humoris, kontroversial, dan Gaul
oleh: Djuneidi Saripurnawan
Judul Buku : GUS DUR,.. Asyik Gitu Loh
Penulis : Maia Rosyida
Penerbit : The Wahid Institute
Tahun : September 2007
Tebal dan ukuran: viii+100 hlm, 14 x 21 cm
Jauh sebelum Gus Dur alias Abdurrahman Wahid menjadi presiden RI ke-4 pada masa reformasi, pertemuanku dengan Romo Mangunwijaya di gang Kuwera, Yogyakarta, sempat menyinggung tentang ketokohan Gus Dur yang diterima secara luas oleh banyak kelompok dan golongan. Romo Mangun sempat bertanya tentang ‘kenapa Gus Dur tidak jadi presiden aja?’ Apa jawabannya? Bila memang harus demikian, nanti dengan sendirinya… Kemudian Romo Mangun memberikan sedikit tanggapannya, bahwa seorang Gus Dur akan menjadi sempit ruangnya bila menjadi pejabat seperti presiden, karena dia sudah tumbuh cepat menjadi ‘resi” bagi banyak orang.
Ya, sebagaimana banyak pihak yang mendaulatnya sebagai Guru Bangsa, guru bagi semua warga negara Indonesia. Orang seperti ini memang masih langkah di Bumi Indonesia.
Orang yang melindungi kaum minoritas (baca: Tionghoa) di Indonesia dari diskriminasi dan perlakuan yang semena-mena oleh penguasa dan tersudutkan dalam dunia politik.
Pluralisme adalah pemahaman yang dikembangkan oleh Gus Dur dalam membangun bangsa ini menjadi bangsa yang besar, meskipun perubahan menjadi bangsa yang besar itu masih menemukan banyak kendala, karena kedewasaan memang tidak bisa disama-ratakan bagi semua pihak. Dalam hal ini, Gus Dur memang menjadi ‘wali’ dan Bapak Pluralisme Indonesia; begitulah banyak pihak mengakuinya.
“Punya agama tapi nggak mau keberagaman. Jelas ini adalah contoh satu umat yang nggak layak dibilang Islam. Karna percuma juga kalo kita nggak ngerti keberagaman dunia dan seisinya. Ilmu masalah semesta yang udah kita dapet nggak bakalan ada manfaatnya, jika kita cuman tau tentang satu hal…”(hlm.86). Bahwa masalah diskriminasi keturunan sampai kapan pun nggak akan bisa bikin bangsa ini bersatu (hlm.69).
Maia Rosyida menyajikan secara sederhana nan lugas tentang kisah seputar Kontroversial Gus Dur yang menjadi pusat perhatian umat Islam dan masyarat Indonesia umumnya. Sosok Gus Dur yang selalu ditunggu ungkapannya, yang selalu sarat dengan makna dan tentunya yang terkemas dengan sense of humor yang tinggi. Inilah yang membuat penulis Maia Rosyida jatuh hati pada Gus Dur.
“Gus Dur itu PKI!” seru beberapa kelompok masyarakat. “Gus Dur itu Wali!” teriak sebagian yang lain. Kejadiannya waktu itu Gus Dur sedang dengan tegas menolak adanya Tap MPR yang tidak memperbolehkan ajaran komunisme di Indonesia. Alasanya jelas: bahwa negeri ini punya prinsip berbeda-beda tetapi tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika). Pada tuduhan “antek PKI”, Gus Dur memberikan jawaban “Komunis itu bukan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ya, masak kalo liat yang ada di PPPdan nengok gambar ka’bah pada spanduk partai itu, lalu kita langsung menyimpulkan kalo Islam itu ya PPP itu. Jelas ini salah paham total.” Yang dimaksudkan Gus Dur bahwa komunis itu bukan PKI, sebagaimana Islam itu bukan partai Islam. Partai Islam dan Islam jelas beda(hlm.36).
Ketika Inul Daratista, penyanyi dangdut yang terkenal dengan goyang “ngebor”-nya dihujat oleh berbagai pihak dan dianggap haram (meskipun sebenarnya lebih banyak disukai masyarakat umumnya), Gus Dur justru membelanya, sebagaimana Rasulullah tidak perlu memaksa pakai kekerasan ketika mendidik umatnya yang awam. Apa kata Gus Dur tentang Inul? “ Lha wong lagi cari makan, mbok biarin. Itu haknya dia.”(hlm.38).
Begitulah cara Gus Dur memberikan cara pendekatan yang sejuk dengan canda intelektualnya, sebagaimana juga ketegangan yang terjadi antara group band DEWA (Dhani) dengan kelompok yang menamakan Front Pembela Islam (FPI). Gus Dur sekali lagi tampil sebagai penyeimbang dan memberikan contoh yang santun dalam meluruskan sesuatu yang dianggap masalah.
Gus Dur memang harus berjuang menghadapi orang-orang yang mau menangnya sendiri, karena terjebak dengan keyakinan yang menganggap paling benar sendiri. Ia tidak setuju bila negara ini di-arabisasikan. Apalagi ketika ada usulan untuk peraturan yang mewajibkan hukuman mati bagi orang Islam yang keluar dari agamanya (murtad). Ini hanya mengotori nama Islam saja. Lafadz “La ikraha fi al-din” sudah banyak yang melupakannya(hlm.43). Berhasil membuat orang takut dan terkekang dengan atas nama ‘kebaikan Islam’ adalah sesat.
Kontroversi yang paling ramai hingga melibatkan protes dari lima ratus ulama Indonesia adalah ketika Gus Dur mengatakan bahwa ‘Al-Qur’an sebagai kitab suci paling porno sedunia’. Dan Gus Dur seperti biasa melihat dan membiarkan respon itu untuk sementara waktu. Kemudian ketika suasana sudah sejuk, Gus Dur mengatakan “Al-Qur’an kitab suci paling porno. Ya kan bener di dalamnya ada kalimat menyusui. Berarti mengeluarkan tetek. Ya udah, cabul kan?”
Ketika ramai-ramai orang berteriak: “musnahkan pornoaksi dan pornografi di negeri ini karena tidak sesuai dengan syariat Islam”, Gus Dur memberikan contoh tentang Kitab Raudlatul Mu’aththar untuk meluruskan pengertian dari kata porno itu sendiri yang sudah keliru dipahami orang-orang itu. “Anda tahu, Kitab Raudlatul Mu’aththar (the perfumed Garden, kebun wewangian)? Itu merupakan kitab Bahasa Arab yang isinya tata cara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha…Kalau gitu, kitab itu cabul dong?”
Intinya, bahwa Al-Qur’an, Kitab Raudlatul Mu’aththar atau pun Inul yang sedang menyanyi dan berjoget ria bila dibaca dan dilihat dalam perpektif ngeres ya hasilnya pasti cabul bin porno.
Kehidupan ini adalah keberagaman yang ada dan karenanya menjadi indah bila damai bersamanya. Kenapa harus memaksakan menjadikan semuanya satu warna. Hidup pasti akan lebih dari sekedar robot yang sangat membosankan. Dan manusia bukanlah robot, melainkan makhuk yang mulia dengan akal-budinya.
Dan bagaimana Gus Dur menjawab pertanyaan tentang hukum orang Islam yang mengucapkan selamat pada hari perayaan Natal? Kata Gus Dur: “Kita jangan cumin mengucapkan selamat. Baiknya kita ikut merayakan. Lha kan Natal itu Mauludnya Nabi Isa.” Cob baca Al-Qur’an pada Surat Maryam yang banyak penjelasan tentang kelahiran Al-Masih dan peristiwa Natal. Dan do’a Nabi Isa sewaktu bayi membuktikan bahwa keagungan Allah menjadikan Nabi Isa bisa terlahirkan tanpa seorang ayah: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali.” (hlm.62).
Di antara cerita tentang Gus Dur yang kontroversial tetapi selalu ada aspek humornya yang intelektual, membuat buku ini memiliki magnet bagi banyak kalangan.
Ketika Gus Dur di Pesantren Tegalrejo: “Semua presiden itu KKN kok. Persiden pertama Kanan Kiri Normal. Presiden kedua Kanan Kiri Nyolong. Presiden ketiga Kecil-Kecil Nekat. Dan presiden keempat, saya sendiri juga diem-diem KKN, alias Kir Kanan Nuntun.”
Dan saat pidato di Jerman dimana hadir juga mantan presiden RI B.J. Habibie: “Pak Karno itu presiden yang negarawan, pak Harto hartawan, pak Habibie ilmuwan, sedangkan saya sendiri wisatawan.”(hlm.73).
Ketika konflik di Ambon terjadi dan Gus Dur tidak setuju dengan orang-orang yang ke Ambon bawa senjata dan niatnya berkelahi tapi atas nama jihad. “Mau jihad kek, mau jahit kek. Pokoknya kalau ada yang bawa senjata ke Ambon, musti segera ditangkep,” tegas Gus Dur(hlm.96). Dan “Tuhan itu tidak perlu dibela.”
Masih banyak hal-hal yang menarik dalam buku ini. Semua tentang Gus Dur dan kehidupan kita dalam konteks bernegara dan bermasyarakat. Dalam upaya membangun budaya masyarakat bangsa Indonesia yang bisa dibanggakan (?) Amin….!
Sosok Gus Dur yang cerdas, mendalam, jenaka (humoris yang intelek), bersahaja, akrab dan terbuka pada semua kalangan, berpihak pada orang kecil, dan mengikuti perkembangan zaman telah membuat Gus Dur tampil sebagai sosok kiyai yang nyentrik dan gaul.
Begitulah Maia Rosyida (penulis buku ini) jatuh hati pada Gus Dur karena gantengnya benar-benar dari inner beauty-nya.
“Semua tulisan di atas tak ada maksud untuk melebih-lebihkan Gus Dur dari yang lain. Melainkan cuma pengin ngasih tau aja, bahwa begitulah contoh ulama yang baik di era yang katanya udah demokratis ini. Contoh ulama yang selalu baca Al-Qur’an dulu sebelum ‘berperang’” tulis Maia dalam lembaran terakhirnya.
Buku yang ditulis dalam bahasa gaul ini memang sangat cocok untuk anak-anak seusia SMP, SMA, bahkan Mahasiswa yang cenderung terjebak dalam formalitas.
Bacaan yang baik adalah bacaan yang minimal bersifat informatif (banyak pengetahuan baru) dan membuat orang berpikir. Nah, buku ini memuat keduanya, bahkan ditambah dengan sense of humor yang cerdas.
Djuneidi Saripurnawan,
Research and Development Coordinator
Plan International Aceh
Sumber : http://saripurnawan.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar